KERUGIAN ANAK DARI HASIL ZINA

Anak hasil zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut hukum agama dan negara. Dalam hukum Islam, zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri tanpa ikatan pernikahan yang sah.

Anak hasil zina sering kali mengalami berbagai kerugian baik secara sosial, psikologis, maupun hukum, di antaranya:

a. Status Sosial
Anak hasil zina sering menghadapi stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat, yang dapat memengaruhi perkembangan psikologisnya.

b. Status Hukum
Dalam hukum Islam, anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya, bukan dengan ayah biologisnya. Hal ini berdampak pada:

  • Tidak berhak atas nafkah dari ayah biologis.
  • Tidak memiliki hak waris dari ayah biologis.

c. Kehilangan Hak Perwalian
Dalam hukum Islam, perwalian anak hasil zina tidak dapat dilakukan oleh ayah biologis. Dalam praktiknya, perwalian anak dipegang oleh ibu atau wali lainnya yang ditentukan sesuai hukum.

Menurut Hukum Positif di Indonesia

  • UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (jo. UU No. 16 Tahun 2019):
    Pasal 43 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

  • Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010:
    Putusan ini memperluas hak anak luar kawin untuk dapat memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya melalui pembuktian ilmiah, seperti tes DNA. Namun, ini lebih terkait pada hak anak untuk mendapatkan pengakuan, bukan hak waris.

Meskipun anak hasil zina menghadapi tantangan hukum dan sosial, hak-hak dasar mereka tetap harus dilindungi, seperti:

  • Hak atas identitas (akta kelahiran).
  • Hak atas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan.
  • Hak untuk tidak didiskriminasi.

Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, yang menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, termasuk anak hasil zina.

Anak hasil zina tidak dapat disalahkan atas status kelahirannya. Baik dalam hukum Islam maupun hukum positif, perlindungan terhadap hak-hak anak ini menjadi prioritas meskipun terdapat batasan dalam hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bijaksana untuk menghapus stigma dan memastikan bahwa semua anak mendapatkan haknya secara adil.